Rabu, 08 Februari 2012

Arti Kehidupan

By Arief Dwi Ramadhan

Yuni tengah mempersiapkan keperluan barang-barangnya selama tiga bulan di kalimantan, dia adalah mahasiswi yang baru saja lulus tahun ini di bidang kedokteran dan mendapatkan gelar S. Ked. Namun karena kecerdasannya dia langsung diterima sebagai dokter umum di sebuah rumah sakit negeri di Jakarta dan akan dikirim ke sebuah desa terpencil di Kalimantan. Yuni memang selalu bangga dengan kehidupannya, bagaimana tidak, dia memiliki paras yang cantik, kaya, cerdas, dan sekarang bisa dibilang sudah jadi orang, apalagi yang kurang darinya?
Keseharian Yuni sungguh sempurna, namun di kagumi banyak orang sedikit membuat Yuni besar kepala dan lupa diri bahwa masih ada yang jauh lebih sempurna jika dibandingkan dengan dirinya. Terkadang ia suka menyombongkan kecerdasannya ketika ada teman yang mengajaknya untuk belajar bersama, khususnya kepada Rangga yang memiliki perekonomian kelurga yang kurang, Yuni sering memamerkan kekayaannya.
Persiapan sudah matang, dan akhirnya waktu keberangkatan pun tiba. “Yun, kamu udah sarapan?” Tanya Ibunda Yuni. “Udah ma, Yuni berangkat dulu ya. Doain semoga lancar!” Sahut Yuni tersenyum seraya mencium kedua pipi Ibunya.
Dengan perasaan gugup dan penasaran dengan apa yang akan dihadapinya nanti selama bertugas, Yuni membaca buku novel kecil nya yang berjudul Halloween’s Party salah satu karya terbaik penulis novel misteri, Agatha Christie. Sementara itu pesawat yang Yuni tumpangi semakin membawanya ke sebuah pengalaman dan takdir baru yang tak pernah dibayangkan Yuni sebelumnya.
Sempat terlintas di benak Yuni bagaimana kehidupan sehari-harinya nanti selama di Desa Hulu banyu, sebuah desa di pinggir sungai di daerah Kalimantan Selatan dengan mayoritas penduduknya adalah nelayan perairan tawar. Namun kembali ia urungkan pikiran negatif yang menguasai otaknya, dan berusaha menyusun rencana-rencana sekembalinya Ia ke Jakarta nanti.
Beberapa hari berlalu, banyak pasien yang datang untuk berobat ke klinik tempat Yuni bertugas. Awalnya Yuni agak merasa geli ketika datang ke desa ini dan melihat kehidupan sehari-hari warga yang terlalu rentan akan penyakit. Dari hari ke hari semakin banyak warga yang datang untuk berobat dan sekadar memeriksa kesehatan anak-anaknya dan keluarga.
“Tolong! Tolong Bu!!” Tiba – tiba sebuah teriakan minta tolong disertai beberapa ketukan pintu yang keras membuyarkan lamunan Yuni yang tengah beristirahat setelah menangani banyak pasien di kliniknya. “Iya, ada apa pak?! Tenang dulu, ceritakan perlahan.” Yuni membukakan pintu dan berusaha menenangkan si bapak yang sedang panik.
Ternyata ada seorang nenek renta yang diserang oleh beruang liar ketika sedang mengumpulkan kayu bakar di hutan, keadaannya sungguh mengenaskan, Ia berada dalam keadaan kritis. Yuni yang belum berpengalaman dalam hal ini merasa agak pikuk, namun berusaha untuk tenang dan melakukan apa yang ia bisa untuk menolong nenek itu.
Tiba – tiba ia teringat akan Ibunya dirumah, selama ini Yuni tidak pernah merasakan kasih sayang dari seorang ayah karena ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan tol saat Yuni masih dalam kandungan. Ibunya lah yang selama ini membanting tulang membiayai pendidikan Yuni hingga Ia kini menjadi seorang dokter.
Tanpa sadar Yuni meneteskan air mata ketika sedang mengobati sang nenek, selama ini Ia telah berlaku sombong dan tinggi hati terhadap orang-orang yang baik kecerdasan dan ekonominya berada dibawahnya. Rasa bersalahnya semakin terasa ketika Ia mengingat Rangga, salah satu teman sefakultas yang berasal dari keluarga tidak mampu. Yuni merasa bodoh saat ini, ketika ia hanya menilai satu sisi dari kehidupan Rangga, ia tidak menyadari bahwa ada sisi lain dari Rangga yang ia tidak miliki, ketabahan hati dan perjuangan Rangga untuk bisa mengangkat derajat orang tuanya, derajat dirinya, dan derajat keluarganya, yang kata orang – orang, ‘orang miskin itu ga pantas menjadi dokter, emangnya punya uang berapa sih? Buat ongkos sehari-hari aja mungkin ga bakal cukup.’ Tapi Rangga berhasil menepis semua pernyataan itu, dan berhasil menunjukkan kepada dunia bahwa orang miskin pun punya hak juga untuk menjadi dokter.
Sejak kejadian itu Yuni mendatangi sang nenek yang sering dipanggil mbok Jannah setiap hari dengan membawakannya satu renteng nasi beserta lauk – pauk, sesekali disertai dengan buah-buahan. nama asli mbok Jannah kini sudah jarang ada yang manggil, karena ia ingin tetap dipanggil dengan nama itu.. Nama panggilan pemberian almarhum suaminya yang tercinta.
“Bagaimana keadaan si mbok sekarang? Masih terasa sakit lukanya?” Tanya Yuni suatu hari, seraya menyerahkan renteng nasi dengan lauk ayam ke mbok Jannah. “Alhamdulillah si mbok dah sehat nduk, sebelumnya terima kasih sudah memberikan si mbok nasi setiap hari.” Jawab mbok Jannah. Yuni hanya tersenyum bahagia, keadaan mbok Jannah sudah semakin membaik. Meskipun kini mbok Jannah sudah bisa mencari kayu bakar lagi, maklum hanya itu yang bisa dilakukan mbok Jannah untuk mencari rezeki, untuk makannya setiap hari, namun Yuni tetap tidak memperbolehkannya sampai luka mbok Jannah benar-benar sembuh total, karena lukanya cukup rentan untuk terkena infeksi.
Beberapa minggu berlalu, akhirnya tugas Yuni membantu warga Desa Hulu Banyu selesai. Sedih rasanya bagi Yuni untuk meninggalkan desa ini, meninggalkan orang-orang yang baik terhadapnya, meninggalkan orang-orang yang masih membutuhkan jasanya, meninggalkan mbok Jannah. Namun Yuni harus kembali ke Jakarta, setelah berpamitan kepada warga, khususnya kepada mbok Jannah yang telah Ia anggap sebagai neneknya di sini, Yuni mengambil keberangkatan pertama pada pagi hari ke Jakarta dari Bandara Syamsuddin Noor dan meninggalkan Kalimantan Selatan, tempat dimana Yuni mendapatkan ilmu baru yang sangat berharga, ilmu kehidupan.
‘Tok! Tok!’ keluar seorang pria sederhana dengan mengenakan pakaian agak lusuh, membuat Yuni meneteskan air mata ketika melihatnya. “Yuni?!” ucap pria itu kaget saat melihat orang yang mengetuk pintu rumahnya, Yuni. “Iya Ga, Aku datang untuk bersilaturahmi.” Ucap Yuni. “oh, ayo masuk! Maaf keadaan rumahku masih belum berubah seperti dulu, mohon dimaklumi, hehehe.” Kata Rangga sambil terkekeh seraya mempersilahkan Yuni untuk duduk diatas sebuah tikar, sofa terbaik keluarga Rangga untuk menyambut tamu – tamunya.
“Iya, makasih Ga, keluargamu pada kemana?” Tanya Yuni. “Adik – adikku masih di sekolah, Ibu sedang jualan di pasar. Mau minum apa, Yun?” Jawab Rangga. Yuni menyodorkan sebuah kantung plastik berisi buah-buahan. “Gaperlu Ga, aku cuma sebentar kok. Ini ada sedikit ucapan maaf dan terima kasihku untuk kamu, mohon diterima ya!” “Wah, makasih Yun, jadi ngerepotin.” Rangga tersenyum. “Nggak kok Ga, jika dibandingkan ilmu yang kudapat dari mu, ini ga seberapa kok.” Jawab Yuni, “Aku telah sadar yang terpenting di dunia ini bukan hanya harta dan duniawi.” Lanjut Yuni, Rangga heran dengan ucapan Yuni, namun ia juga bahagia karena temannya yang dahulu sering menghina dan mengolok-olok hidupnya kini telah tersadar. Senyumpun merekah di wajahnya.
Akhirnya Yuni kini tersadar, bahwa ada yang jauh lebih penting dari kecerdasan dan harta, karena tiap manusia memiliki kedudukan yang sama di mata Allah SWT dalam hal keduniawian, tapi ketaqwaan dan keimanan seseorang lah yang dipandang oleh-Nya, yang membuat seorang manusia bisa jauh lebih tabah dan kuat dalam menghadapi hidupnya. Lebih dari sekadar ambisi, kekuatan yang bisa mengangkat manusia meraih impiannya meski berada jauh di atas langit.
Read More >>

Kamis, 02 Februari 2012

SIAGA 1 !! SIAGA 1 !!

hahaha maaf judulnya agak berlebihan hehe

yak ane hanya ingin mengumumkan mulai saat ini blog ini hanya akan berisi karya sastra ane aja dan mungkin beberapa tips2 penting yang ingin dan bisa ane bagikan. thanks before.. semoga skill menulis ane bisa jauh lebih baik dari sekarang :) jaa..
Read More >>