Selasa, 31 Januari 2012

Boneka Terakhir untuk Maryam

By Arief Dwi Ramadhan

Selamat Membaca!





Kepedihan hati menyelubungiku, tak terasa air mataku jatuh, menetes di atas kardus tempat ku tidur bersama kedua Adikku yang sangat ku cintai, Raka dan Maryam. Usia mereka masih sangat muda, namun mereka harus merasakan apa yang sebenarnya tidak pantas mereka alami. Empat dan Tujuh tahun, sangat miris jika di bicarakan. Aku tidak ingin mereka merasakan semua ini, jantungku bagai ditusuk-tusuk belati yang sangat panas, ingin rasanya ku cabik-cabik diriku yang tak bisa memberikan mereka kehidupan yang lebih layak. Namun apa yang bisa ku perbuat? Aku hanyalah seorang pemulung muda yang tak punya apa-apa! Dengan beralaskan kardus dan beratap tenda aku menyediakan tempat berteduh yang sungguh tidak layak bagi mereka. Apalagi jika harus tidur di pinggir rel kereta api, sungguh sakit hatiku melihat wajah mungil mereka sedang terlelap. Suara gemuruh riuh kereta api dan listrik lalu lalang sering sekali membangunkan kami dari surga mimpi, dimana semua keinginan kami hanya dapat terwujud dalam satu malam. Belum lagi jika tenda kami terbang akibat angin kencang yang kereta hamparkan pada kami. Ya, Tuhan! Ingin sekali rasanya Aku membahagiakan mereka, meskipun hanya dengan memberikan sepotong kue atau cokelat di hari ulang tahun mereka, atau sebuah buku gambar dan pensil warna untuk mewarnai, namun untuk makan sehari-hari saja kami harus membanting tulang mencari sisa-sisa sampah dari menyingsingnya fajar hingga terbenamnya matahari, itupun terkadang kami dimarahi bahkan hingga harus tertangkap oleh SATPOL PP. Apalagi jikalau kami menemukan sisa-sisa nasi bungkus di pasar, Ah, bahagia sekali rasanya kami dapat makan nasi dengan gratis.



Hampir semalaman aku tertegun memandangi wajah mereka yang damai tanpa dosa itu, mengingat pesan dari Almarhum Ayahku sebelum meninggal, bahwa aku harus melindungi Adik-adikku dengan seluruh jiwa ragaku. Aku teringat, bahwa sebentar lagi Maryam akan ulang tahun yang ke-8. Ah, kapan lagi aku bisa membahagiakan dirinya? Inilah kesempatan yang sangat berharga bagiku, maka ku pergi meninggalkan mereka berdua untuk menenangkan diri dan berpikir sejenak.



Aku menemukan sebuah pohon rindang dekat stasiun, cocok untuk tempatku berpikir. Akhirnya ku sandarkan tubuhku di bawah batang pohon yang rindang itu, seraya berpikir, hadiah apa yang cocok untuk seorang Maryam kecil yang lugu dan feminin? Ah, mungkin baju baru akan cocok dengannya! Hmm, mungkin tidak, itu terlalu mahal, aku tidak akan mampu untuk membelinya. Apa kuberikan Maryam sebuah Bando dan perhiasan murah saja ya? Fajar, Fajar. Bodoh sekali engkau, untuk apa orang-orang pemulung macam kau memberikan perhiasan kepada adikmu? Apa dengan begitu orang-orang akan memandang kalian? Ah, sungguh tidak berguna!



Tak terasa hari telah terang, ku putuskan untuk kembali dan membangunkan Maryam dan Raka untuk segera menunaikan aktivitas rutin kami, memulung. Namun kudapati mereka telah duduk gelisah menunggu kehadiranku.



"Mas Fajar! Habis darimana mas?" Tanya Maryam.

"Oh, enggak, mas habis dari stasiun, kayaknya disana ada banyak sampah dik. Yuk, kita kesana!" Ajakku tersenyum.

"Raka sudah kelaparan mas, daritadi perutnya berkeroncong terus, hehehe." Adikku Maryam tertawa mengingat kata-kata candaan yang sering dilontarkan oleh Almarhum Ayahku sebelum beliau meninggal. Tak bisa ku menyembunyikan rasa sedihku meskipun telah kulebarkan senyum terbaikku.



Ku tuntun Raka yang masih kecil sambil menggendong sebuah karung yang telah kusulap menjadi sebuah "Tas karung sampah", dan Maryam mengikuti kami dari belakang yang juga menggendong tas karung.



Hari semakin terik, dan tas kamipun semakin terisi, namun perut kami masih kosong sedari pagi. Akhirnya kuputuskan untuk istirahat di seberang jalan depan warung padang, membayangkan kami berada di dalamnya, di layani dengan tumpukan makanan-makanan lezat oleh si penjual, dan bisa makan sepuasnya dengan uang kami. Sejurus kemudian mataku menatap tajam kearah toko mainan di sebelah warung padang tersebut. Terpajang di depan kaca toko mainan tersebut, sebuah boneka beruang cokelat kecil dengan bando merah jambu di kepalanya. Ini adalah hadiah yang cocok untuk Maryam! Dia pasti suka dengan boneka itu. Sekonyong-konyong otakku berpikir keras bagaimana cara mendapatkan boneka itu sebelum hari ulang tahun Maryam, tepatnya tiga hari lagi. Belum aku menemukan cara yang tepat, teriakan Maryam membuyarkan lamunanku.



"Mas, ayo pulang! Raka udah nangis tuh daritadi, Mas Fajar ngelamunin apa sih?" Tanya Maryam seraya menatap kearah toko mainan yang kupandangi.

"Ah, enggak. Yuk, kita langsung jual aja hasil mulung kita hari ini, dan beli nasi bungkus!" Teriakan kegirangan terlepas dari mulut Maryam yang sedang melompat-lompat riang, dan Raka akhirnya berhenti menangis karena melihat kakak perempuannya begitu bahagia. Ada-ada saja mereka ini, pikirku sambil tertawa bahagia dalam hati.



Keesokan harinya ku sempatkan untuk bangun sebelum matahari terbit untuk melaksanakan ibadah salat subuh di mushola stasiun. Lalu pergi ke toko-toko untuk membeli sikat dan semir sepatu dan mulai menjajal pekerjaan baru, yaitu menawarkan jasa semir sepatu kepada para pegawai yang lalu lalang di stasiun, mereka yang pergi ke kantor dengan kereta. Satu,dua orang tidak memperdulikan tawaranku, bagaimana mau menanggapi, melihatku saja sepertinya mereka jijik. Akhirnya aku harus pulang dengan tangan hampa.



Kembali aktivitas rutinku ku lakukan bersama kedua Adikku, dan ku sempatkan untuk melewati toko mainan itu. Masih ada, boneka itu masih terpajang dengan mungil di balik kaca transparan toko tersebut, syukurlah, aku bernapas lega. Ku suruh Maryam untuk menunggu di bawah pohon dekat situ bersama Raka, lalu meninggalkan mereka berdua seraya menyebrangi jalan. Langkahku terhenti di depan pintu toko tersebut untuk sekedar menghirup udara sebanyak-banyaknya. Mungkin terlihat konyol, sampai akhirnya pemilik toko tersebut keluar dan menyapaku.



"Nyari apa mas? Kok diam sambil menghirup napas begitu?" Tanyanya keheranan. Pemilik toko itu adalah seorang pria paruh baya yang terlihat sangat sangar. Namun ternyata hatinya sangat baik, ia mau menyapa seorang pemulung kotor dan bau sepertiku, meskipun sangat kecil persentasinya aku akan membeli mainannya.



"Eh, anu pak."

"Anu apa mas? yang jelas kalau ngomong!"

"Iya, saya mau bertanya berapa harga boneka yang dipajang itu, pak?" Tanyaku sambil menunjuk ke arah boneka idamanku dipajang.

"Oh, itu! Kenapa? Kamu suka sama boneka ya?" Ujarnya terkekeh.

"Ah, bukan pak! Itu untuk hadiah ulang tahun Adik perempuan saya."

"Oh, yang itu tidak dijual mas." Jelas bapak tersebut yang membuatku cukup kecewa.

"Tapi, kalau kamu mau boneka itu, saya jual 30.000 rupiah. Gimana?" Lanjutnya yang memberi sedikit harapan padaku, meskipun di sisi lain aku bingung, darimana akan kudapatkan uang sebanyak itu?

"I,iya pak! Tolong jangan di jual dulu sebelum saya datang lagi kemari, pak!" Ucapku gembira.

"Wah, emang mas mau datang lagi kapan? Kalau terlalu lama, ya, saya tidak bisa menjualnya."

"Insya Allah dua hari lagi pak!" Janjiku penuh keyakinan.

"Baiklah, tapi ingat, kalau lebih dari dua hari, saya akan menjualnya kepada orang lain!" Jelas Bapak pemilik toko tersebut seraya masuk ke dalam tokonya dan menunjukkan padaku sebuah tanda sold (terjual) pada boneka idaman ku dan tersenyum seraya mengangguk, mungkin dia telah mempercayaiku sepenuhnya untuk membeli boneka itu.



Akhirnya aku bisa kembali ke tempat ku meninggalkan Adik-adikku dengan senyum lebar terhias di wajahku. Di sana mereka telah menunggu dengan wajah kelaparan dan penuh tanya. Tanpa basa-basi ku ajak mereka untuk mencari sisa nasi bungkus di pasar, merekapun mengiyakan.



Kulihat para kuli panggul mendapatkan uang bayaran yang cukup banyak dari hasil membantu memindahkan karung-karung berisi beras. Akhirnya Maryam kusuruh duduk di pinggir jalan agar ia bisa menyantap nasi bungkus yang kami temukan di jalan bersama Raka. Ku beranikan diri untuk meminta pekerjaan kepada sang pemilik barang, dan ia menerimaku. Lalu ku pindahkan karung berisi beras yang pertama, kedua, hingga karung kelima tenagaku sudah mulai habis. Namun aku berhasil memindahkan karung beras terakhir bersama para kuli yang lain, dan memperoleh uang bersih sepuluh ribu rupiah. Alhamdulillah! Ku simpan uang itu untuk membeli boneka idamanku. Tampaknya Maryam dan Raka telah selesai memakan sisa nasi bungkusnya, ya sudahlah, sepertinya hari ini aku harus puasa. Ku putuskan untuk mengajak mereka pulang karena hari sudah mulai larut.



Hari selanjutnya, Kuputuskan untuk langsung kepasar dan menguli, sementara Maryam dan Raka memulung di sekitar pasar, dan Alhamdulillah, hari ini aku mendapat upah lebih banyak lima ribu rupiah dibanding kemarin. Ternyata hari ini pun sampah sedang banyak-banyaknya di pasar, alhasil Maryam membawa sekarung penuh sampah-sampah non organik yang akan kami jual. Akhirnya sisa kekurangan telah tertutupi dari hasil menjual sampah itu.



Tanpa Adik-adikku sadari, kutinggalkan mereka saat tertidur lelap untuk membeli boneka beruang pilihanku sebagai kado ulang tahun Maryam. Syukurlah, ternyata toko belum tutup, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 10.30 malam. Akhirnya boneka beruang itu telah sah menjadi milikku, namun aku harus menunggu hingga esok hari untuk memberi kejutan pada Maryam, ku putuskan untuk tidur di halte bus depan toko mainan itu, menunggu hingga datangnya pagi hari.



Saat tertidur lelap, tak ku sangka Ayah dan Ibuku datang bersama Maryam dan Raka, sungguh bahagia rasanya dapat berkumpul bersama seperti ini, meskipun hanya dalam buaian mimpi. Cukup lama ku terbuai dalam angan-angan semu itu, indah, namun palsu. Malampun berlalu, adzan subuh membangunkan tidur lelapku, dengan hati gembira ku berlari kencang dengan membawa kado ulang tahun Maryam menuju rumah tendaku untuk segera memberinya ucapan "Selamat ulang tahun Adikku sayang", hingga tak terasa telah berkali-kali ku tersandung, biarlah, toh semua ini akan terbayar dengan senyuman kebahagiaan milik Adikku, Maryam yang tersayang.



Langkahku terhenti, mataku terbelalak, aku tak bisa menahan rasa penasaran, kenapa ada kerumunan orang di depan rumah tendaku? dimana Maryam? Dimana Raka? Mataku terus melirik ke sana - ke mari mencari mereka, namun tak kudapatkan sosoknya.



Aku mendekati kerumunan itu, tapi kenapa sungguh berat rasanya langkahku ku pijakkan? Air mataku terus mengalir membasahi boneka beruang kecil Maryam, hingga aku mengetahui yang sebenarnya terjadi.



"Ada apa sih bu?" Tanya seorang ibu paruh baya yang mengenakan daster sambil membawa kantung plastik berisi sayuran.

"Ini lho bu, ada dua anak jalanan kecil tertabrak kereta." Ujar seorang ibu lain yang sedang menggendong anaknya yang masih kecil.

"Ah yang benar bu? Kasihan sekali ya? Sudah hidupnya susah, eh, Allah memanggilnya juga dengan cara seperti ini." ucap seorang ibu sambil mengusap dadanya.



Air mataku semakin deras mengalir, membuat ku menangis terisak-isak. Aku tak bisa membayangkan jika Adik-adikku telah meninggalkanku sendirian di dunia ini. Ku terobos kerumunan orang-orang yang ingin melihat dua anak jalanan itu. Aku tak kuasa melihat kedua anak itu, ingin sekali mempercayai bahwa mataku telah membohongiku, namun ia tidak melakukannya. Ku dapati sosok kecil dua Adikku yang telah terkulai lemas penuh darah. Aku tak kuat menahan rasa sedih yang mendalam di hatiku, membuatku menjambak-jambakkan rambutku dan terjatuh dengan dengkul terlebih dahulu mendarat.



"Ya Allah! Kenapa begitu cepat Engkau memanggil Adik-adikku Ya Allah!" Tangisanku meledak saat ku sadar bahwa memang mereka, Maryam dan Rakalah yang sedang terkulai lemas di hadapanku, dingin, tak bernyawa.



Seandainya dapat ku ulang waktu, Aku akan menunggu keesokan hari untuk membeli boneka ini. Namun harus kusadari, Adik-adikku telah tiada, kini senyuman kebahagiaan Maryam saat mendapatkan hadiah ulang tahunnya hanya tinggal impian belaka.



Hujan mulai turun rintik-rintik, menyisahkan kepedihan yang semakin menusuk di dadaku. Kini aku sendiri, tiada lagi isak tangis kelaparan Adik-adikku dan tawa mereka saat menyongsong fajar untuk setiap hari dalam hidupku.



"Maryam, selamat ulang tahun ya dik." ucapku terisak sambil memeluk boneka kecil milik Maryamku tersayang.

"Maafkan masmu yang bodoh ini, karena mas tidak bisa menjaga kalian dengan seluruh jiwa raga mas."



Ku paksa diriku untuk tetap tegar, dan berdiri meskipun tubuh ini berguncang hebat. Tanpa sadar ku berikan senyuman tipis terakhirku kepada Adik-adikku, senyuman terakhir untuk melepas kepergian mereka. Semoga mereka di tempatkan di sisi-Nya yang paling mulia. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar